PEMBERANTASAN
KORUPSI DI INDONESIA.
Korupsi di
Indonesia berkembang
secara sistemik . Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan
suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan . Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan
korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia
dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga
ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Ø Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin
oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock,
dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagaiMenteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab,
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan
tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi
alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad
Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Ø
Orde Baru
Pada masa
awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan
demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar
seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung.
Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada
kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite
Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan
tugas utama membersihkan Departemen
Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
down di kalangan pemberantas
korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi,
sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para
koruptor di singgasana Orde Baru.
Ø Era
Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU,
atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya,Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial
review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
Dasar Hukum:
UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim
Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga
non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)
Ø STRATEGI
PEMBERANTASAN KORUPSI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar