Sabtu, 28 April 2012

Pemberantasan Korupsi Di Indonesia


PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA.
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik . Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan . Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Ø  Orde Lama

Kabinet Djuanda

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagaiMenteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Ø  Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Ø  Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya,Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)
Ø  STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI.

Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan

pemerintah Indonesia adalah masalah  korupsi. Hal ini disebabkan semakin

lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya

korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor

pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah,

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,

disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada

tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling

kecil di daerah.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi

praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai

kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu

Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk

komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi  seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif

atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal

Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa

inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan

kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan

keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien

dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga

pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan

oleh instansi eksternal yaitu Badan  Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan

Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

 

Ø  UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA.

Menghilangkan korupsi bukanlan perkara gampang, karena ia telah berurat berakar dan menjalar ke mana-mana di negeri kita ini. Tidak semua orang rela jalan pintasnya untuk kaya diungkit-ungkit. Ada lagi yang menjelaskan mereka korupsi kecil-kecilan karena terpaksa oleh keadaan. Gaji kecil yang tidak mencukupi untuk hidup yang layak dari bulan ke bulan menjadi alasan untuk membenamkan diri. Apalagi kalau hampir semua orang di tempat itu telah menganggap hal itu adalah hal yang biasa. Tahu sama tahu, untuk tidak mengatakan atasan mereka juga meiakukan hal yang sama.

 Dalam kemajemukan tersebut, keragaman pandangan dan pilihan untuk memelihara dan menjinakkan perilaku korupsi adalah hal biasa dan harus kita hargai. Dengan kemauan mengoreksi kesalahan berarti kita berpeluang untuk mengatasi krisis apapun. Krisis adalah peluang di masa sulit. Bangsa ini perlu membangun kehidupan sehari-hari yang berdasar etika yang kuat, aturan-aturan hukum yang dibuat aspiratif dan partisipatif, dengan begitu keadilan akan datang
Masyarakat dapat berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk:

a.    hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi;
b.    hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c.    hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada aparat penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d.    hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak
hukur. dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e.    hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

 

pemberantasan tindak pidana korupsi diatur tebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Berikut ini beberapa contoh kasus korupsi di Indonesia.
a.    Dugaan korupsi dalam pengadaan helikopter jenis MI-2 Merk Pie Rostov Rusia milik Pemda NAD
(2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
b.    Dugaan korupsi dalam pengadaan buku dan bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia
(2004).
c.    Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d. Dugaan  penyalahgunaan  jabatan oleh  Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Drs. Muhammad Harun Let dkk.
e.    Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipmentdan placement deposito dari Bl kepada
PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004).
f.    Dugaan telah terjadinya TPK atas penjuaian aset kredit PT PPSU oleh BPPN (2004).
g.    Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005).
h.  Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc, dan Hamdani Amin (2005).
i.   Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh (2005).
j.   Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo, dan Triyadi.
k. Dugaan korupsi kerugian negara sebesar32 miliar rupiah dengan tersangka Theo Toemion (20C5).
I.   Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar